Perbedaan bercanda dan menghina, Ketahui batasannya disini

Photo of author

By Netcrot

Pahami batas antara bercanda dan menghina

Mengetahui kapan situasi yang  disebut bercanda dan menghina itu sangatlah penting. Apalagi jika sedang memberikan komentar mengenai fisik di media social. Perbedaan bercanda dan menghina.

Pasalnya, canda yang disangka meledek dan membuat target tersinggung termasuk dalam tindakan body shaming. Jika kita tidak berhati-hati, perbuatan kita bisa saja dilaporkan sebagai kategori penghinaan yang berujung hukum penjara yang bisa sampai 4 tahun.

Menurut Bona Sardo, MPsi, psikolog dari salah satu universitas indonesia, batas antara bercanda dan menghina sangatlah sulit diasumsikan karena persepsi dari orang itu berbeda-beda.

Namun, situasi merugikan akibat candaan yang kelewat batas sebetulnya bisa saja di antisipasi. Christoper John Hunt, Psikolog klinis dari University of Sydney, Berpendapat dalam studinya, bahwa banyak orang dengan tidak sadar melakukan candaan yang melibatkan fisik atau menggunakan bahasa kasar berpotensi menghina. Dan mereka biasanya tidak bermaksud untuk menyinggung.

Keadaan bisa menjadi bertambah rumit ketika orang yang dicandai secara ‘diam-diam’ merasa terhina, tetapi malah menunjukan tawa sebaiknya menegur.

Ada dua batasan antara bercanda dan menghina yang perlu anda ketahui

Bercanda pada dasarnya dimaksudkan untuk kegiatan lucu-lucuan dan sebagai hiburan, tanpa ada maksud lain. “Jika seseorang berkomentar tentang fisik seseorang dan mereka saling tertawa dengan puas, hal itu dapat tergolong dalam candaan” Jelas psikolog klinis dan Personal Growth, Laurentus Sandi Witarso, MPsi.

Ahli psikolog, Tika Bisono, menambahkan bahwa ada kalanya candaan fisik ditujukan untuk menggoda (teasing), tergantung pada motif orang itu sendiri.

“Bisa saja itu nama kesayangan seseorang kepada sahabatnya. Disitu dibutuhkan suatu kearifan, Teasing atau menggods sifatnya adalah situasioanl dan targetnya bisa siapa saja, jadi tertawa’nya pun bisa kapan saja tetapi tergantung situasioanal.”
Oleh karena itu sifat situasional, setelah candaan berlalu, orang yang menjadi bahan candaan tidak menjadi target.

“Kalaupun di ulang kembali, bukan lagi orangnya, tetapi ceritanya”.

Namun, perlu di garis bawahi bahwa jika candaan fisik dilakukan secara berulang-ulang dan terus tertuju pada target yang sama, itu sama saja berniat melecehkan atau ada unsur untuk merendahkan, berarti itu sudah termasuk dalam perundungan secara verbal.

Bila ada orang yang tersinggung dan merasa tidak puas atau dirugikan karena suatu candaan fisik, meskipun pelakunya tidak bermaksud seperti itu, maka candaan itu bisa dianggap menghina dan tergolong melecehkan.

Yiannis Gabriel, Profesor Teori Organisasi di University of Bath, mengatakan bahwa hal utama yang membedekan maksud yang tumpang tindih antara bercanda dengan menghina, mengejek, dan menyindir adalah “memanfaatkan titik lemah dari target”.

Dalam studinya, Gabriel menyebutkan jika lelucon adalah tempat terbaik untuk menyelidiki suatu penghinaan, karena perbedaan utama keduanya terletak pada konten emosional. Lelucon melepaskan kegembiraan, sedangkan penghinaan melepaskan suatu kemarahan. Bercanda dan menghina sama-sama memiliki pelaku dan target, dan mungkin juga orang-orang yang menonton. Akan tetapi, menghina seringkali berasal dari sikap superioritas dan agresi yang mencirikan kuta sebagai manusia.

Intinya, bila bercanda sampai mengomentari kekurangan fisik dari seseorang, itu mestinya sama sekali tidak lucu.

Sebab, boleh jadi anda tanpa sengaja telah menarget seseorang yang berada dalam posisi tertindas atau berpotensi tertindas. Lantas, mengapa orang tidak sengaja bercanda sampai kelewat batas? Masalah paling utama adalah kurangnya kemampuan untuk melihat keadaan dan mempertimbangkan situasi. Salah satu penyebabnya lantaran kurangnya rasa empati atau kebiasaan tidak berempati.

“Orang yang bercanda pada umumnya akan memahami kondisi seseorang sehingga tidak terlalu memberikan komentar yang berlebihan”

Sebaliknya, bercanda dianggap menghina karena mungkin selain masalah empati untuk memahami kondisi orang lain, orang yang bercanda juga menyertakan cara berpikirnya.

Simon Weaver dan Karen Morgan, dua peneliti Inggris terkait humor ofensif, menjelaskan bahwa komedi atau bercanda yang paling menyinggung sekalipun dianggap sebagian orang sebagai bentuk kebebasan berekspresi berlandaskan kejujuran.

Dengan menyinggung fisik dalam candaan, sebagai orang percaya bahwa “candaan yang menghina” adalah kebenaran yang disampaikannya dengan rendah hati. Lewat bercanda itu, pelaku seolah menegaskan bahwa tidak ada yang perlu merasa malu dengan kekurangan yang dimiliki seseorang. Mudahnya, seperti membantu lebih jujur dan mengakui fakta sebagai sebagai kritik social. Beberapa studi juga menemukan bahwa candaan menghina seringkali sebagai rasa “gemas” karena orang yang menjadi target candaan tidak melawan.

Namun, seperti yang ditulis Forbes, kita juga perlu menyadari bahwa setiap orang terlahir dan dibentuk oleh budaya, lingkungan, dan penilaian yang berbeda-beda. Karakter yang kemudian tumbuh ataupun pengalaman hidup yang mungkin dilalui bisa membuat orang menanggapi setiap kelakar dengan cara yang tidak sama. Oleh karena itu, jika anda masih begitu sulit memahami bagaimana seseorang bisa tersinggung gara-gara suatu candaan, Inc menyarankan lebih banyak berdiskusi dengan orang lain untuk mendapat perspektif baru. Lalu, sadarilah bahwa ada orang yang kelewat sensitif. Perempuan, bagaimanapun lebih rentan tersinggung akibat candaan yang ditujukan pada fisik karena sifat evolusi dan paparan media.

Dalam berkelakar, Weaver dan Morgan menyimpulkan bahwa pemilihan bahasa juga sangat penting.

Walaupun meminta maaf bisa memulihkan suasana, memperhatikan etika melucu dengan pikir-pikir dulu sebelum bercanda tentu akan lebih bijak.

Leave a Comment