Puisi Demokrasi dan kebenaran

Photo of author

By Netcrot

Puisi Demokrasi dan Kebenaran

Yang harus dibabat adalah egoisme dan kebencian, yang mesti dirajut ialah solidaritas dan kepedulian.
Jangan bosan bicara tentang kebenaran, agar demokrasi tak berakhir dengan kesia-siaan. (Puisi demokrasi dan kebenaran)

Bagaimana mencari pemimpin dengan hemat dan bebas korupsi, di tengah kondisi kepartaian berbiaya mahal tapi miskin legitimasi.

Kebenaran & kepastian mengapung, di antara uang & kuasa yang mengepung.
Aroma rempah yang mengundang kolonialisme, derita panjang yang berujung nasionalisme.

Usia muda adalah modal agar tangan terus terkepal, untuk arungi medan politik yang terjal.
Berani muncul melawan arus, mendobrak kepalsuan yang terlanjur serius.
Pejabat publik tutup mata, uang haram tak lagi berdosa. Sekeras itu hukum dibuat, sepandai itu pula praktek muslihat.

Banyak kasus terpendam, berakhir pada si kambing hitam. Sedang para pelaku utama, tetap nyaman di singgasana.
Banyak yang ingin jadi bintang di layar kaca, bahkan jadi obsesi dan cita-cita. Padahal tak mudah berperan di depan kamera, harus mengatasi berbagai dilema.

Entah bagaimana harus berlaku, setiap pemilu banyak orang yang ragu.
 Apa arti ijazah yang bertumpuk, jika kepedulian dan kepekaan tidak ikut dipupuk?
Partai hanya aktif menjelang waktu pemilu tiba, warga diajak terlibat hanya 5 tahun sekali saja.

Disiplin ilmu hanyalah modal pertama, ijazah cuma selembar kertas di atas meja.
Tak ada yang tiba-tiba bagi calon pemimpin bangsa, kecakapan bukan salinan genetika.
Aparat yang tak dipercaya, memicu ganasnya amuk massa. Lantaran hukum mudah terbeli, membuat siapa saja bisa jadi polisi.

Para pemilih harus diberi kandidat bermutu agar Pilkada tak jadi pesta yang sambil lalu.
Melihat riuh pemilu mengharu-biru, tapi negeri tetap saja terbelenggu.
Dengan jurus transparansi, mereka hadang gerak-gerik para pencuri. Jika atasan berani buka-bukaan, anak buah akan sulit selewengkan jabatan.

Leave a Comment