Kumpulan puisi para penyair terkenal indonesia
Oleh: Wiji Thukul
Judul: Monumen bambu runcing
di tengah kota
menuding dan berteriak merdeka
di kakinya tak jemu juga
pedagang kaki lima berderet-deret
walau berulang-ulang
dihalau petugas ketertiban
(semarang, 1 maret 86)
Oleh: Wiji Thukul
Judul: Suara dari rumah2 miring
di sini kamu bisa menikmati cicit tikus
di dalam rumah miring ini
kami mencium selokan dan sampan
bagi kami setiap hari adalah kebisingan
di sini kami berdesak-desakan dan berkeringat
bersama tumpukan gombal-gombal
dan piring-piring
di sini kami bersetubuh dan melahirkan
anak-anak kami
di dalam rumah miring ini
kami melihat matahari menyelinap
dari atap ke atap
meloncati selokan
seperti pencuri
radio dari segenap penjuru
tak henti-hentinya membujuk kami
merampas waktu kami dengan tawaran-tawaran
sandiwara obat-obatan
dan berita-berita yang meragukan
kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak
tapi bersama hari-hari pengap yang menggelinding
kami harus angkat kaki
karena kami adalah gelandangan
solo, oktober 87
Oleh:Wiji tukul
Judul:catatan malam
Anjing nyalak
lampuku padam
aku nelentang
sendirian
kepala di bantal
pikiran menerawang
membayang pernikahan
(pacarku buruh harganya tak lebih dua ratus rupiah per jam)
kukibaskan pikiran tadi dalam gelap makin pekat
aku ini penyair miskin
tapi kekasihku cinta
cinta menuntun kami ke masa depan
Oleh W.S. Rendra
Judul: Hi Ma
Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku
tetapi hidup yang tidak hidup
karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya
ada malam-malam aku menjalani lorong panjang
tanpa tujuan kemana-mana
hawa dingin masuk kebadanku yang hampa
padahal angin tidak ada
bintang-bintang menjadi kunang-kunang
yang lebih menekankan kehadiran kegelapan
tidak ada pikiran, tidak ada perasaan, tidak ada suatu apa
Hidup memang fana, Ma
tetapi keadaan tak berdaya membuat diriku tidak ada
kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara
dijauhi Ayah Bunda dan ditolak para tetangga
atau aku terlantar di pasar
aku bicara tetapi orang-orang tidak mendengar
mereka merobek-robek buku dan menertawakan cita-cita
aku marah, aku takut, aku gemetar
namun gagal menyusun bahasa
Hidup memang fana,Ma
itu gampang aku terima
tetapi duduk memeluk lutut sendirian di savana
membuat hidupku tak ada harganya
kadang-kadang aku merasa ditarik-tarik orang kesana kemari
mulut berbusa sekadar karena tertawa
hidup cemar oleh basa basi
dan orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edan
yang tanpa persoalan
atau percintaan tanpa asmara
dan sanggama yang tidak selesai
Hidup memang fana tentu saja,
Ma
tetapi akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelola
mengacaukan isi perutku lalu
mendorong aku menjeri-jerit
sambil tak tahu kenapa
rasanya setelah mati berulang kali
Tak ada lagi yang mengagetkan dalam hidup ini
Tetapi Ma, setiap kali menyadari adanya kamu di dalam hidupku ini
aku merasa jalannya arus darah di sekujur tubuhku
Kelenjar-kelenjarku bekerja
sukmaku bernyanyi, dunia hadir
cicak di tembok berbunyi
tukang kebun kedengaran berbicara pada putranya
hidup menjadi nyata, fitrahku kembali
Mengingat kamu Ma, adalah mengingat kewajiban sehari-hari
kesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisi
kita selalu asyik bertukar pikiran ya Ma?
masing-masing pihak punya cita-cita
masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata
Hai Ma!
apakah kamu ingat
aku peluk kamu di atas perahu
ketika perutmu sakit dan aku tenangkan kamu
dengan ciuman-ciuman di lehermu?
Masyaallah..aku selalu kesengsem pada bau kulitmu
Ingatkah waktu itu aku berkata
kiamat boleh tiba, hidupku penuh makna
Hehehe waahh..aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini
dan apabila aku menulis sajak
aku juga merasa bahwa kemaren dan esok
adalah hari ini
Bencana dan keberuntungan sama saja
Langit di luar, langit di badan bersatu dalam jiwa
Sudah ya, Ma…
Oleh: W.S Rendra
Judul: Maskumambang
Kabut fajar menyusut dengan perlahan.
Bunga bintaro berguguran
di halaman perpustakaan.
Di tepi kolam,
di dekat rumpun keladi,
aku duduk di atas batu,
melelehkan air mata.
Cucu-cucuku!
Zaman macam apa, peradaban macam apa,
yang akan kami wariskan kepada kalian!
Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang.
Kami adalah angkatan pongah.
Besar pasak dari tiang.
Kami tidak mampu membuat rencana
manghadapi masa depan.
Karena kami tidak menguasai ilmu
untuk membaca tata buku masa lalu,
dan tidak menguasai ilmu
untuk membaca tata buku masa kini,
maka rencana masa depan
hanyalah spekulasi keinginan
dan angan-angan.
Cucu-cucuku!
Negara terlanda gelombang zaman edan.
Cita-cita kebajikan terhempas waktu,
lesu dipangku batu.
Tetapi aku keras bertahan
mendekap akal sehat dan suara jiwa,
biarpun tercampak di selokan zaman.
Bangsa kita kini seperti dadu
terperangkap di dalam kaleng utang,
yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa,
tanpa kita berdaya melawannya.
Semuanya terjadi atas nama pembangungan,
yang mencontoh tatanan pembangunan
di zaman penjajahan.
Tatanan kenegaraan,
dan tatanan hukum,
juga mencontoh tatanan penjajahan.
Menyebabkan rakyat dan hukum
hadir tanpa kedaulatan.
Yang sah berdaulat
hanyalah pemerintah dan partai politik.
O, comberan peradaban!
O, martabat bangsa yang kini compang-camping!
Negara gaduh.
Bangsa rapuh.
Kekuasaan kekerasan merajalela.
Pasar dibakar.
Kampung dibakar.
Gubuk-gubuk gelandangan dibongkar.
Tanpa ada gantinya.
Semua atas nama takhayul pembangunan.
Restoran dibakar.
Toko dibakar.
Gereja dibakar.
Atas nama semangat agama yang berkobar.
Apabila agama menjadi lencana politik,
maka erosi agama pasti terjadi!
Karena politik tidak punya kepala.
Tidak punya telinga. Tidak punya hati.
Politik hanya mengenal kalah dan menang.
Kawan dan lawan.
Peradaban yang dangkal.
Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik tidak boleh menjamah
ruang iman dan akal
di dalam daulat manusia!
Namun daulat manusia
dalam kewajaran hidup bersama di dunia,
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat,
dan daulat hukum akal sehat.
Matahari yang merayap naik dari ufuk timur
telah melampaui pohon jinjing.
Udara yang ramah menyapa tubuhku.
Menyebar bau bawang goreng yang digoreng di dapur.
Berdengung sepasang kumbang
yang bersenggama di udara.
“Mas Willy!” istriku datang menyapaku.
Ia melihat pipiku basah oleh air mata.
Aku bangkit hendak berkata.
“Sssh, diam!” bisik istriku,
“Jangan menangis. Tulis sajak.
Jangan bicara.”
Oleh: Timur Sinar Suprabana
Judul: Cerita buat nun
tak habis ceritalepas kisah
tak usai kisah luncur kesah
tak rampung kesah jiwa ini resah
abadi golakan gelisah
:aku rumputan di maha sunyi
aku riuh dan waswas
dan kamu waktu yang berputar
perputaran murni harihari peradaban
dengan sederhana ke manapun setia pada edarnya
garis lurus aku tentang sejak mula
kerna jiwa melulu rindu tikungan
begitulah lelaki
bisa sengaja sanggup sial
tanpa pernah butuh tanda baca
jauh dari titik koma
atau apa saja dan keharusan tertentu yang mestinya ada
kadangkadang ingin juga kembali ke Asal
seperti kelelawar di guanya jauh dari lintasan cahya
berikan kepak hanya pada malam saat udara kosong
tanpa angin tanpa plikplak sintuhan helaihelai dedaun
dan tanpa bulan di sebalik cadar malam
mungkin benar gelap itu Kodrat
tapi kegelapan cuma sebagian tipu daya alam
heran kamu begitu Murni
seperti kemauan yang terbebas dari hawamalam
seperti malam yang tak pernah ditinggal rembulan
seperti rembulan yang seolah bersarang di dasar samudra
dan menggerakkan pelayaran dari kedalaman maha hening
biar laju segala ke dunia baru
di luar dunia baja yang menggemuruh
di luar dunia plastik yang palsu
di luar dunia pipapipa bawah tanah yang suram
dan di luar dunia kaca yang melukai jasad dan jiwa
aku terlalu cepat lahir aku celaka dan benci usia
aku berani mati tapi Lupa hidup
lalu nafasmu menyuplai zat asam bagi paruparuku
ketika waktu mengkhianatiku dengan puisi
dan suratsurat cinta bir dan pertemuanpertemuan di hotel
dengan wanitawanita yang tak pernah sepenuhnya
benarbenar kukenal dan harus segera dilupa pada esoknya
aku letih Luruh dan Repih
lalu kepadamu aku belajar menjadi kanak-kanak
pengin bisa tanpa dosa
Oleh: Toto sudarto bachtiar
Judul: Ibu kota senja
Ya
belum
bahkan tak kan pernah
kulupa
pernah kujanjikan
kapankapan
kujemput
kau
di jakarta
lalu kuajak
kau
menempuh malam
berkereta
di depanku
beno sing pamungkas tertawa
di jauh sana
engkau juga tertawa
aku tahu engkau tertawa
kerna aku bisa
mendengar derai segarnya
yang tak kutahu
adalah apakah ketika aku menelponmu itu
engkau bahagia?
aku rindu
meski tidak saja terhadapmu
tapi rindu yang Ini
hanya terasa ketika aku
tibatiba kangen kamu
ah, seperti Cemburu
seperti mengingatkan
seperti menggoda
:beno siang pamungkas menyeruput kopinya
ketika ia menatap ke mataku
pandang mripatnya menciptakan lajur berkilau
di atas lingir cangkir
di luar matahari mendadak bergegas lingsir
…..
engkau, helga
apakah ketika aku menelponmu
di menjelang sore itu
kamu sedang menulis sajak?
sedang melukar kaos dan menggantinya dengan gaun?
sedang hendak ke gereja?
sedang memandang bungabunga yang
kau bayangkan ngembang mengapungngapung antara jakarta semarang?
atau sedang menyaksikan percintaan dan gurauan
yang tak semua Mata bisa melihatnya?
aku pengin dan butuh bisa tibatiba membongkar batok kepala.
lalu begitu saja meletakkan benak di antara cangkircangkir kopi
dan botolbotol bir yang sudah kosong, dompet, korek
dan beberapa bungkus rokok berwarna hijau itu,
membiarkan ingatan mengembara
ke mana saja
yang di tiap titik tujunya
selalu bertemu kamu
kamu yang sedang tersenyum,
kamu yang sedang memandang entah wajah atau sebenarnya mataku,
kamu yang sedang berceritera kepadaku mengenai yang tak pernah kaukisahkan
bahkan terhadap dirimu sendiri,
kamu yang tergelakgelak tanpa merasa perlu berbenteng
saat kepadamu kukatakan bahwa aku mencintai Isa karena ia Juga berambut gondrong,
kamu yang tibatiba merasa perlu duduk bersilang kaki, menggigit bibir, menunduk,
meneteskan air mata yang engkau sendiri tak tahu mengapa
namun aku dapat sepenuhnya mengerti seolah Itu adalah aku yang mengalami.
oh ya, tentu, juga kamu yang hatimu selalu jadi alasan mengapa matahari
senantiasa butuh terbit di tiap pagi.
ah,
andai saja ketika itu tibatiba beno siang pamungkas tidak mengajak pulang
tak ada yang aku bisa kenang
tak ada yang aku dapat janjikan
tak ada yang aku perlu ungkapkan
tak ada sajak Ini
…..
tak ada rasa Tiada ini
Oleh: Timur Sinar Suprabana
Judul: “Kutunggu” Katamu
Dan betapa sesudahnya bahkan sore tiba-tiba memilih ikut berdenyar
ke makin bisa lebih cepat menjelmakan malam yang barangkali nanti bakal berbulanbundar
ketimbang berlama meranumkan senja, atau bercakap dengan mawarmawar
yang belakangan mulai sering berkeluhkesah dan mendadak gemetar.
“Tunggu aku di jakarta,” kataku.
kuucap, kulepas harap, sembari tersipu.
“KUTUNGGU!” katamu
dan akupun tergelak oleh rasa bahagia bakal bisa memandang dunia bolamatamu,
mengeja senyummu dan menafsir rahasia helaan nafasmu
yang sungguh selalu bikin kap lampu dan vas bunga mendadak bersintuh dengan sendu.
“kekasihku,” bisik jiwaku pada hatimu. “jika nanti kita benar bertemu
biarkan aku mengecup dahimu dan menelisih alis mripatmu
dengan ujung kelingking tangan kananku,
sementara telapak tangan kiriku menyeka peluh yang melembab di tengkukmu.
kerna aku mengasihimu.”