Cerpen horor | kamar sebelah
“Tobi, tolong simpan kardus-kardus ini ke kamar sebelahmu.” perintah ibu. “Siapa tahu nanti berguna,” (cerpen horor)
Aku langsung membawa setumpuk lipatan kardus itu ke kamar di sebelahku. Saat itu kami sekeluarga baru pindah, sehingga banyak barang yang harus kami tata. Untung saja rumah baru kami sangat besar dan berlantai dua, jadi kami tidak usah bersempit-sempitan lagi seperti di rumah lama.
Saat aku masuk ke ruangan di sebelah kamarku, jendela besar langsung terpampang di sana tanpa tirai. Aku bisa melihat pemandangan hutan dari sana dengan sangat jelas. Pucuk-pucuk pepohonan melambai-lambai seolah-olah mengajakku untuk pergi ke sana. Tapi memang itu keinginanku. Aku paling suka berkemah atau menjelajahi hutan yang belum kukenal. Dan untungnya, ayah mengizinkanku untuk berkemah di hutan itu.
Siang terus berlanjut. Aku bersama kakak perempuanku, Kak Dona tidak henti-hentinya membantu ayah dan ibu, hingga waktu senja datang menjemput kami. Setelah menutup semua tirai dan membersihkan diri, kami langsung makan malam bersama di ruang makan.
Jam menunjukkan pukul 10 malam ketika aku bergegas naik ke tempat tidur. Alunan musik rock yang datang dari kamar kakakku sangat menyiksaku saat itu. Meski kamarnya ada di bawah, namun musiknya tetap terdengar sampai ke telingaku.
Aku jadi benar-benar tidak bisa tidur.
Hingga akhirnya terdengar sebuah suara yang datang dari kamar di sebelahku. Sebuah suara yang lumayan keras, dan membuat lantai kamarku bergetar. Aku langsung bangkit dan memasang telinga baik-baik. Itu suara jendela dibanting. Tidak salah lagi. Tapi siapa yang membantingnya?
Dan pada saat itu juga, alunan musik rock dari kamar kakakku berhenti seketika. Suasana menjadi hening. Tetapi tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki berlari menaiki tangga dan melewat di depan kamarku. Setelah itu suara langkah kakinya tak terdengar lagi. Kupikir itu adalah Kak Dona yang berlari. Mungkin ia juga mendengar jendela dibanting keras, lalu segera berlari menghampiri kamar sebelahku itu. Akhirnya aku pun keluar dari kamarku.
“Kakak? Kakak ada di sana?” tanyaku sambil mengetuk pintu kamar sebelahku.
Tidak ada jawaban. Karena penasaran, aku buka pintunya. Ternyata di dalamnya sama sekali tidak ada siapa-siapa, dan jendela besarnya masih tertutup dan terkunci. Aneh sekali, pikirku.
Tiba-tiba ada suara seorang anak perempuan meminta tolong!
“Tolong … Tolong aku … “
Aku benar-benar terkejut. “Siapa itu?!” kataku
“Tolong aku … “
Aku berpaling ke sana kemari, mencari asal suara itu. Namun aku tidak menemukannya. Dan meski aku sudah berbaring di kamarku, suara menyeramkan itu terus-menerus menghantuiku sepanjang malam. Aku benar-benar ketakutan dan tidak bisa tidur.
cerpen horor kamar sebelah
“Benarkah?” ujar Kak Dona. “Padahal kan aku membiarkan kaset rock-ku menyala sampai tengah malam.”
“Tidak mungkin. Aku benar-benar mendengar kalau musik rock di kamar kakak mati setelah ada suara jendela dibanting itu. Lalu terdengar suara langkah kaki berlari menaiki tangga,” jelasku. Saat itu kami sedang makan pagi. Aku ceritakan semuanya kepada kakak, ayah dan ibu.
Ibu hanya tersenyum mendengar perkataanku. “Mungkin kamu hanya bermimpi,”
“Kau tidak biasa dengan rumah ini, sehingga … yah halusinasimu mulai bermain dan mengganggumu.” tambah ayah. “Kalau sudah terbiasa pasti tidak akan begitu,”
Aku mengeluh di dalam hati. Mengapa mereka tidak pernah percaya padaku? Sedangkan pada Kak Dona, semua yang diceritakannya selalu ditanggapi dan dipercaya. Aku dan dia ‘kan hanya beda 3 tahun. Aku kelas 8 SMP, sedangkan dia kelas 2 SMA. Tapi kata teman-temanku, orang yang lebih tua memang lebih dipercaya.
“Oh ya, nanti malam, pamanmu akan datang menginap di sini.” kata ayah membuyarkan lamunanku. “Ia akan datang bersama Arine. Biarkan mereka memilih kamar yang mereka mau untuk ditempati,”
Arine. Ya. Siapa yang tidak mengenal dia. Anak itu sebaya denganku, tetapi punya kelebihan. Dia pintar, manja dan cantik. Orang tuanya yang kaya raya membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Semua yang diinginkannya selalu dipenuhi. Di depan orang tuaku atau orang lain, ia adalah gadis manis yang penuh sopan santun. Tapi di depanku, ia adalah anak yang sombong dan licik.”Kenapa harus memilih? Biar saja mereka tidur di kamar sebelahku.” tukasku kesal.
Ayah menatapku. “Tobi, dengarkan ayah. Pamanmu yang menemukan rumah besar ini. Pamanmu yang meminta pemilik rumah ini agar harga jualnya dipotong sehingga tidak terlalu mahal. Dan pamanmu juga yang membayar setengahnya.” Ayah diam beberapa saat, memperhatikanku lekat-lekat. “Mereka adalah tamu istimewa kita. Jadi jaga sikapmu ketika mereka datang. Kalau kau berbuat yang tidak-tidak lagi, ayah yang menentukan hukumannya. Mengerti?”
Dan malamnya mereka benar-benar datang. Ayah dan ibu mempersiapkan semua ini dengan matang. Makanan mewah dihidangkan di meja makan yang panjang dan besar itu. Semua ruangan dipel, dan Kak Dona mengenakan baju terbaiknya.
Sialnya, Arine memilih kamarku untuk ditempati.
Aku terpaksa tidur di kamar menyeramkan itu hanya dengan satu buah matras, selimut tipis dan sebuah bantal yang keras. Menyebalkan. Arine hanya tersenyum puas sambil bertolak pinggang saat ia memilih kamarku dan melihatku merengut karenanya.
Malam tiba. Seperti biasa, aku tidak bisa tidur. Lampu tidak kumatikan, dan kubiarkan selimut membungkusku hingga ke hidungku. Aku tetap terjaga. Rasanya waktu berputar cepat sekali. Pukul 9, pukul 10, pukul 11. Dan aku tetap tak bisa tidur. Telinga kupasang baik-baik. Tetapi saat itu sama sekali tak ada suara apa-apa. Satu jam pun berlalu. Tidak, tidak satu jam. Tetapi pukul 11 lewat 59 menit 55 detik. Jam dinding terus kuperhatikan dan kuhitung detiknya. 56, 57, 58, 59 … Dan saat itu, lonceng jam di ruang tamu berdentang keras. Itu sedikit membuatku terkejut. Aku benar-benar tak percaya. Ini-lah pertama kalinya dalam seumur hidup aku tidak tidur hingga pukul 12 malam.
Tiba-tiba sesuatu terjadi.
Lampu kamarku dalam sekejap mati, dan aku sangat ketakutan. Aku berlari menghampiri pintu dan berusaha membukanya. Tetapi tidak bisa. Terkunci! Padahal pintu itu tak ada kuncinya sama sekali. Aku terus memaksa membukanya dan menggedor-gedor pintunya.
“Tolong!” teriakku panik. “Tolong aku! TOLONG!”
Di sekelilingku benar-benar gelap, hitam, dan hanya sedikit cahaya yang masuk melewati jendela besar di sana. Aku tak henti-hentinya menggedor pintu. Pikiran-pikiran tentang makhluk halus atau hantu mengiang di pikiranku.
Aku diam sebentar dan mengatur nafas. Anehnya, Paman dan Arine yang tidur di sebelah ruangan tidak mendengarku sama sekali. Ayah, ibu atau Kak Dona pun tidak datang menghampiriku, padahal teriakanku sangat keras.
Saat diam beberapa detik, tahu-tahu lampu sudah menyala kembali. Aku tersentak kaget. Tapi anehnya, lampu di ruangan itu sangat pudar dan berwarna kuning. Padahal sebelumnya lampu berwarna putih terang. Aku masih menghadap ke pintu, berjalan mundur perlahan-lahan ke belakang. Debu dan sarang laba-laba menghiasi setiap sudut tembok, membungkus lemari dan peralatan yang ada di sana. Lantai yang kupijak sangat kotor dan berpasir. Aneh sekali. Aku merasa seperti berada di masa lampau.
Masih dengan keheranan, aku berbalik menghadap jendela besar. Tiba-tiba ada sesuatu yang hampir membuat jantungku lepas. Ada sesuatu yang membuat urat nadiku hampir putus, membuat kakiku bergetar hebat karenanya. Mulutku menganga lebar, mataku terbelalak. Aku seperti disambar petir.
Ya. Di sana, di jendela itu, sebuah sosok anak perempuan seumuranku tergantung melayang dengan tali tambang melilit di lehernya. Dia menghadap ke arahku. Gadis itu memakai baju daster hingga ke lututnya. Seluruh tubuhnya berwarna putih pucat, rambut hitamnya yang panjang sebahu tergerai menutupi sebagian wajahnya. Tetapi dapat kulihat dengan jelas matanya melotot lebar seolah-olah akan keluar.
Mulutnya terbuka sedikit, dan darah mengalir lembut melalui hidung dan mulutnya. Kakinya yang bergelantungan dan bergerak sedikit ketika ada angin kencang menerpa.
Aku menjerit kencang sekali. Ini bukan rumahku. Ini bukan ruangan itu.
Kubawa kaki ini berlari menghampiri pintu dan memaksa tanganku membuka pintu itu. Tetapi pintu tetap terkunci. Aku panik. Sangat panik.
“AYAH! IBU! TOLONG AKU!!”
“Tolong aku … “
Di sudut ruangan itu, Lyssa merapatkan kedua lututnya, menunduk, dan menangis lagi. Sudah lebih dari seminggu ia disekap di dalam kamar kosong tanpa ada yang menemani seorang pun. Hanya dua buah obor yang terpajang di dinding, menyinari sedikit ruangan itu. Cahaya bulan merembes masuk melalui jendela besar di belakangnya.
Sudah banyak korban berjatuhan. Dan yang mengalami pasti selalu anak perempuan. Dan kini, Lyssa pun ikut terpilih. Semula ia tak terlalu mengerti hal itu, namun ketika ada sekelompok pria tak dikenal menawarkan permen dan boneka, Lyssa terbujuk dan menuruti perintah pria-pria itu. Lyssa dibawa ke suatu tempat yang jauh sekali dari rumahnya. Ia disuruh masuk ke dalam sel yang penuh dengan jeruji mirip seperti penjara. Di sana, banyak sekali anak-anak perempuan seumurannya yang sedang duduk membungkuk. Wajah mereka sangat memelas, seolah tidak ada harapan yang akan menyelamatkan mereka dari kengerian itu. Mereka semua sangat kurus dan cekung.
Dan inilah awal malapetaka yang dialami Lyssa. Gadis cantik itu harus menerima siksaan yang amat sangat menyakitkan. Ia tidak bisa bertemu dengan kedua orang tuanya padahal di kejauhan sana, orang tua Lyssa sangat panik mengetahui anaknya hilang. Sirine mobil polisi terdengar di mana-mana. Sementara surat kabar tak henti-hentinya menampangkan berita itu; “Penculikan Anak Terus Berlanjut”.
Satu per satu anak di dalam ruangan itu dipanggil dan dijual ke luar negeri. Lyssa tidak tahu tentang itu. Yang ia tahu, pasti anak yang dipanggil akan dibawa pergi ke tempat yang sangat jauh, dan di sana akan dijadikan budak dan disiksa terus menerus.
Dan sekarang tepatnya tanggal 29 Februari, tinggal Lyssa yang terakhir berada di sel itu. Keheningan malam sangat mencekam dan menyiksa dirinya. Baju daster se-lutut sudah dipakainya selama seminggu. Ia juga menggigil kedinginan. Angin kencang terus menerpa hingga tulang-tulang kurusnya.
Sebelumnya, Lyssa dan beberapa anak lainnya sudah berusaha untuk kabur. Mereka dengan susah payah membuka jendela besar yang digembok dan dirantai. Tetapi suatu kali mereka berhasil. Mereka bisa membuka jendela itu, namun ketika melihat ke bawah, hanya sungai kotor dan hutan yang tampak. Belum lagi ketinggiannya mencapai beberapa meter, dan anak-anak itu terlalu takut untuk meloncat ke bawah. Pada saat itu juga, angin di luar berhembus kencang hingga membanting jendela besar itu. Suaranya sangat keras seperti gempa. Salah satu pria yang ada di bawah langsung berlari menaiki tangga dan memarahi anak-anak itu.
Tiba-tiba Lyssa berpikir, apa yang harus ia lakukan agar ia tidak seperti anak-anak lainnya. Bagaimana cara agar ia dapat menghindar dari semua itu. Ia sangat marah. Marah pada dirinya. Seharusnya, anak berumur 10 tahun sudah bisa menjaga diri sendiri. Ia menyesal kenapa tidak memikirkan baik-baik nasihat orang tuanya. Dan juga anak-anak lainnya. Mereka semua sangat bodoh dan tolol.
Malam itu, Lyssa mengamuk-ngamuk sendiri. Ia menangis, menendang-nendang tembok, meloncat-loncat, mendumel sendiri, dan berteriak-teriak seperti orang gila. Tiba-tiba ia melihat sejumput tali tambang di sudut ruangan. Tangisnya mendadak berhenti. Ia berpikir, ia pasti bisa melakukan sesuatu dengan tali itu. Pasti. Lyssa tersenyum, dan tertawa terbahak-bahak. Ia terus tertawa sambil berjalan mengambil tali itu. Kemudian ia perhatikan paku yang sudah berkarat yang terpajang di atas jendela besar. Tawa Lyssa meledak lagi.
Gadis malang itu mengambil kursi kayu dan menyimpannya di dekat jendela. Setelah menaikinya, ia mengikat tali tambang pada paku dengan sangat erat. Lalu di ujung lainnya, ia membuat simpul tali melingkar seperti sebuah lingkaran. Kemudian ia berbalik dan memasukkan tali itu ke lehernya. Ia pun membiarkan dirinya bergelantungan di jendela itu, membiarkan nyawanya lepas dari tubuh mungilnya.
Kejadian itu lalu terus terjadi setiap 4 tahun sekali di bulan Februari. Dan bangunan tempat penjualan anak itu pun sudah dibersihkan dan dijadikan sebuah rumah megah. Tetapi jendela besar tetap terpasang rapi di dinding, tanpa meninggalkan sedikitpun sisa-sisa luka seorang anak.
Dan setiap ada anak perempuan berumur 10 tahun berada di bangunan itu saat tanggal 29 Februari, ia akan ikut merasakan penderitaan seperti yang pernah dialami Lyssa.
Aku tersentak kaget. Nafasku tersengal-sengal, peluh berkucuran di keningku. Kulihat sekelilingku. Aku masih duduk di atas matras, dengan selimut tipis dan bantal keras. Lampu di ruangan itu masih berwarna putih terang, dan sama sekali tak ada debu atau sarang laba-laba di sana. Lantainya juga bersih tidak berpasir. Aku bernapas lega. Apakah ini semua hanya mimpi? Yang kuingat, terakhir kali aku memukul-mukul pintu dan memanggil ayah dan ibuku.
Kugali lagi isi pikiranku. Di dalam mimpiku, aku melihat penderitaan Lyssa. Aku melihat bagaimana sosok gadis itu.
Dan aku mengerti.
Suara anak yang meminta tolong kemarin malam pasti adalah suara Lyssa saat ia disekap di sel. Suara jendela dibanting keras itu tak lain adalah ketika Lyssa mencoba kabur dan membuka jendela, tiba-tiba angin kencang datang membantingnya. Lalu suara tapak kaki orang itu pasti adalah suara langkah pria yang berlari menghampiri sel. Dan sel itu sedang kutempati sekarang. Kejadian itu terus berulang dan menimpa anak perempuan. Syukurlah. Aku bukan anak perempuan.
“Tapi … Tunggu.”
Setiap ada anak perempuan berumur 10 tahun berada di bangunan itu saat tanggal 29 Februari, ia akan ikut merasakan penderitaan seperti yang pernah dialami Lyssa.
“Anak perempuan.
10 tahun.
Jangan-jangan …”
Dan saat aku berpaling ke belakang, di jendela itu sudah tergantung sesosok anak perempuan yang sangat kukenali.
“ARINE!!!”